Credy Patty Dan Masalah Pertambangan Lambu Bima

Suasana malam itu benar-benar dingin, cuaca kota bima malam tepatnya 24 Januari 2012 itu tidak menentu, kadang hujan kadang kabut menutupi kota yang sedang berkembang ini. Penulis berusaha memasuki lorong-lorong cuaca yang tak menentu tersebut walau hujan rintik membasahi. Saya berusaha menjemput teman di desa sambi nae untuk menemani saya menghilangkan sedikit kejenuhan di rumah. Kami lewati remang-remang lampu jalan kota bima yang hampir redup bahkan tak ada yang menyala sedangkan pencahayaan sangat perlu di kota ini.
Berencana duduk dan berbicara di pantai Amahami yang jika saya samakan seperti pantai Losari yang berada di Kota Makassar, sepertinya tidak bisa sebab angin laut begitu dingin. Dan akhirnya kami memcoba bertengger di Yuank Cafe n coffee Shop yang berada samping Pertamina Gunung Dua Kota Bima. Pun  di sodorkan menu oleh teman saya, dan pikir saya caffe ini sepertinya elit dan wajar berada d Kota Bima. Menu yang disajikan pun sangat menarik, makanan kelas atas dan  minumannya pun seperti itu pula. Saya memilih Credy Patty sebagai makanan favorit dan Mocca sebagai minuman pendaping, begitu pula teman saya memesan makanan dan minuman yang sama.
Teman saya pun menceritakan tentang kegiatannya sebagai guru di SMA Swasta di Kota Bima serambi menunggu hidangan yang kami pesan. Dia bercerita tentang profesinya sebagai guru yang tak pernah mengajar sesuai keahlianya namun baginya adalah tantangan yang harus di tempuh sebagai generasi penerus bangsa bukan ingin jadi pahlawan tapi inilah yang terjadi katanya. Minuman pesanan kami  datang dan secepat kilat saya dan teman langsung mencicipinya. Padahal udara sangat dingin, tapi kami tetap mengkonsumsi minuman dingin. Selang  beberapa menit di meja sebelah ada pria dewasa, umurnya berkisar 30 tahunan ke atas. Mulanya dia sendiri, awalnya saya tak teralu menghiraukan dia sebab kalau di lihat-lihat dia pengusaha. Dan tampaknya dia menelpon temannya entah apa yang dia bicarakan sebab kelihatan serius.
Saya tinggkalan pandangan dari lelaki tersebut, kembali saya dengarkan cerita seputar perkembangan kota ini yang sudah 4 tahun saya tinggalkan. Teman saya bertutur tentang pembangunannya, pendidikanya, dan banyak hal. Yang paling seru ketika dia bercerita tentang beberapa komunitas yang sebenarnya komunitas tersebut kebanyakan di kota-kota metropolitan tetapi di Kota Bima malah sudah menjamur. Berusaha saya menjadi pendengar yang baik dan melontar kan pertanyaan yang menurut saya adalah rasa penasaran yang harus diselesaikan. Mengapa? kenapa bisa? siapa yang memulai nya?. Pertanyaan itu terus saya lontarkan kepada teman dan dengan telaten diapun menjawab, seperti halnya jika siswannya bertanya pada dirinya.
Selang beberapa menit saya berbicara, pandangan saya kembali dialikan ke meja sebelah dan terlihat lelaki tadi kedatangan temannya, pikir saya mungkin itu rekan bisnisnya. Konsentrasi sayapun terbagi mendengar cerita dari teman dan sedikit memperhatikan lelaki di meja sebelah. Tidak terlalu lama sebab credy patty yang kami pesan datang, lumayan lama menunggu sajian makannya, dan kami makan sambil bercerita tentang cita rasa credy patty tersebut. Namun tiba-tiba suasana makan malam saya dan teman memecah sunyi dan mengilangkan perih kedinginan kala  kedua lelaki yang tadi saya perhatikan berbicara begitu keras tapi bukan berteriak, mereka bercerita tentang polemik tambang di desa lambu. Perhatian saya pun terpecah mendengar sayup-sayup suara yang keras tapi terbawa angin malam bercerita tentang Bimaku yang makin memanas. Dua lelaki itu tampak begitu serius berbicara tentang masalah pertambangan lambu,  ingin rasanya masuk di tengah-tengah mereka dan bertanya sebenanya apa yang akan terjadi setelah bencana tanggal 17 Desember tahun lalu. Dua lelaki masih melanjutkan pembicaraan mengenai  lambu dan masalahnya. Sempat terdengar mereka berkata “akan ada aksi hari ini (Rabu,Kamis 25-26 Januari 2012).
Tak bisa dihindarkan hampir setiap pojok kota dan kabupaten bima, di warung-warung, caffe, dan gang-gang masalah lambu dan tambangnya masih hangat di bicarakan. Du minggu yang lalu juga saya menemukan Bapak yang mengenakan batik yang berklas duduk bersama  lelaki yang berotot tepatnya di depan SDN 55 Kota Bima. Dan hal yang di bicarakan masih sepurtar masalah lambu dan tambangnya. Kejadian tahun lalu 2011 bulan desember memang masih menggoreskan luka bagi masyarakat Bima terkhusus masyarakat lambu sape. Dua nyawa melayang adalah bukti yang nyata bahwa banyak masyarat yang menolak beroperasinya tambang di desa tersebut. Perlu ada seorang kesatria di tengah perbaikan tromatik masyarakat lambu, perlu ada kata-kata cinta yang meredam kemarahan saudara-saudara saya. Sehingga tak ada lagi nyawa yang melayang sebab kesemuanya tak bisa diselaikan dengan amukan amarah. Saya terus memperhatikan kedua lelaki itu, tak pauk ku lepaskan pandangan mataku walapun aku sedikit melamun dan berfikir.

Facebook Bergejolak
Masalah lambu makin hari makin tak terselesaikan. Setelah peristiwa tersebut banyak kalangan elit yang turut prihatin tapi tak bertindak, banyak yang datang berkunjung, sekedar melihat apa yang terjadi atau akan berusaha membantu masyarakat lambu menyelesaikan masalah tersebut. Facebook jadi pelampiasan sementara oleh beberapa masyarakat bima dan sekitarnya. Grub Bima Institute menjadi media aktualisasi mengenai peristiwa lambu. Tidak heran jika kata-kata yang dilontarkan  beberapa pemilk akkun Facebook menusuk hati pimpinan, tak ada sensor kata-kata di akkun grub tersebut sebab pembicaraan sesuai realita yang ada. Pun saya memncoba bergabung dan mengikuti diskusi dan topik yang di bahas. Salah satu pemilik akkun “Sang Kelana”menulis di grub tersebut yang bunyinya : “Untuk d kthui oleh abang2q, saudara2q d forum ilmiah Bima Institut bhwa masyrkat lambu n sape hanya mlantunkn kalimat "Tolak Tambang harga mati" smpai kpanpun, aplagi bberapa nyawa tlah mrka prtaruhkn dmi mslah ni bhkan jika pncbutan SK keramat 188 ni mmbtuhkn ribuan nyawa, mka mrka siap tuk mmbrikanx dgn ikhlas”. Pemilik akkun lain pun berkomentar dan memang tidak semua yang setujuh dengan tambang tersebut. Status pemilik akkun Sang Kelana Menggambarkan suara masyarakaat lambu bahwasannya mereka menolak tambang dan itu sudah harga mati. Komentar di status sang Kelana pun di tutup oleh akkun milik Okan Tambilu “Semoga Allah Yang Maha Menguasai Hari Pembalasan memberi azab manusia2 yang menzholimi manusia yang lain.. Amin..
Allahu Akbar...”. tak ada hentinya, suara-suara keritikan dari masyarakat bima yang menolak tambang di lambu. Bima Institute sebagi grub yang memberikan wadah pada masyarakat memberikan peran positif banyak yang bisa di tarik dari wacana yang di tuang di grub tersebut, namun bagimana orang-orang yang di suguhkan kritik bisa mengambil benang merah.
Ada yang berusaha meredam wacana yang terlalu berbau profokasi pada grub tersebut. Ada pula yang tampil untuk menghasud dengan memilki akkun tak jelas. Saya tak perlu meyembut siapa pemilk akkun tersebut. Masyarakt menjerit dan jeritan ini bukan jeritan anak bayi yang bila di diami sejenak akan sirna. Pun duka di tahun 2011 sangat membekas. Namun kenapa ada oknum yang berusaha memprofokasi pemerintah dan masyrakat lambu?. Jika mereka yang membaca dengan bijak tulisan akkun tersebut di grub Bima Intitute maka tak terjadi aksi saling serang namun jika mereka membaca dengan amarah maka sungguh sesuatu terjadi.
Hanya saja sampai kapan pemilik akkun  tersebut menjerit menuntut hak masyarakt bima, mungkin hanya sekedar tulisan kemudian di komentari dan setelah itu selesai, kemudian masuk wacana baru,bertanya setujuh atau tidak setujuh dengan tambang, kemudian ada yang berkomentar setuju, tentu pemilik akkun lain bereaksi dan menghujani dengan kata-kata yang begitu pedas. Namun kata-kata tinggal kata-kata tak ada reaksi dari seseorang yang membuat kebijakan sehingga mengeluarkan SK 188 tersebut. Jika saja salah satu pimpinan kita mau berkomentar dan berbagi di grub Bima Institute mungkin akan ada sesuatu yang bisa diselesaikan. Namun para pimpinan malah menghindar plat mobil saja di ubah warnahnya, mulanya bergencu sekarang sudah plat pribadi. Saya pun hanya bisa menulis tanpa tindakan, namun saya harap tulisan saya adalah ekspresi gambaran keperihatin saya dan teman-teman pemilik akkun facebook yang bergambung di grub Bima Instituti yang tak ingin ada penumpahan darah lagi.semoga

Pemerintah Harus Jadi Pendegar yag baik bukan Melawan
Setelah konflik tanggal 17 Desember 2011 lalu yang menewaskan 2 korban. Bima dikenal seantero Nusantara bukan karena prestasi namun karena konflik. Beberapa sms pun masuk di handphone saya dan tentu mereka bertaya, mengapa?, kenapa bisa?. Pertanyaan itu pun mengalir di masyarak indonesia pasca konflik sape bima. Hampir sepekan di media cetak maupun elektronik membahas mengenai konflik tersebut. Anggota DPR RI pun berkunjung, Komnas HAM juga tidak kala eksis untuk menyelidiki pelanggran HAM pasca konflik tersebut. Polri pun datang berdialog tapi hasilnya nihil yang ada menghasilkan perdebatan panjang antara beberapa tokoh masyarakat. Saya pun tak ingin menyudutkan siapa-siapa sebab saya takut melanggar aturan. Namun jika saja pemilik kekuasaan mau mendengar sedikit saja apa yang di keluhkan masyarakat lambu. “doho ka sama” dalam bahasa bimanya. Ribuan masyarakat itu tidak sedikit artinya betapa takutnya masyarakat di lambu mengenai SK 188 tersebut.
Mengapa mereka menolak tambang memiliki alasan kuat, tidak mungin anak-anak, ibu-ibu, kakek, dan nenek ikut demonstrasi jika kehidupannya terancam dengan tabang tersebut. Namun pepatah mengatakan “nasi telah jadi bubur”. Saudara kita harus kehilangan nyawa karena tembakan pihak penguasa, harus di kejar layaknya perampok miliaran rupiah padahal para koruptor yang memakan hak rakyat di penjara namun diberi tempat khusus. Lucunya negeriku ini. Saya pun terhentak ketika ada yang menyebarkan vidio kejadian di lambu. Siapa yang tak marah jika saudaranya di perlakukan seperti hewan peliharaan.
Di televisi semua pihak membela diri. Tak ada satu kata yang terucap untuk minta “maaf” pada masyarakat hanya melontarkan kata kesalah pahaman. Heranya semua berujar bahwa mereka benar. Negriku ini seperi tidak akan ada yang rela meminta maaf atas kesalahnya. Mungki meminta maaf pada masyarakt lambu bisa meredahkan amarahnya namun mereka malah di awasi oleh lelaki kekar berseragam lengap dari luar kota bima. Pun masyarakat lambu tidak perlu meyembah agar sang pemegang kekuasaan merelakan untuk minta maaf. Di salah satu stasiun televisi beberapa masyarakt bima di undang untuk menjelaskan awal mula kejadian berdarah tersebut. Seolah tak mau di bilang salah malah sesama masyrakat bima saling menyalahkan dan di tonton oleh ribuan mata di Negeri ini. Duh, saya benar- benar terpukul. Beginikah ending dari sebuah kekecewaan. Beginihkah akhir dari nyawa yang hilang.
Masyarakat di lambu ingin di dengar keluhanya, bukan di lawan denga senjata. Bahkan beberapa tulisan di media on line mengatakan SK 188 itu bukan kitab suci yang tak bisa di ubah. Namun bisakah sang penguasa sedikit mendengar, rangkul mereka dengan cinta kasihmu. Beri mereka solusi. Ajak masyarakat lambu “ doho kasama”. Kemarahan betemu kemarahan tentu tak mampu bertemu. Inilah cerita negeriku cerita kampung halamku, sebuah masalah tak berujuung pada penyelesaian. Penguasa tetap bertahan pada SK 188 dan masyarakat ngotot agar penguasa mencabut Sk tersebut. Mudah-mudahan Komisi III DPR RI yang berkunjung ke desa Lambu bisa mencari solusi dan menjadi pendengar yang baik atas keluhan masyarakt tersebut. Dan bukan memberi janji hanya untuk menyenangkan. Sebab bila melihat kasus nasional contonya century awalnya para anggota dewan semangat untuk menyesaikan namun akhirnyaa redup bahkan tak di lanjutka. Semoga tak terjadi di masalah pertambangan ini.    

Mahasiswa Harus Turun Kejalan
“Mahasiswa harus turun ke jalan”(WS.Rendra). sepenggal puisi tersebut menggambarkan betapa mahasiswa mempunyai peran aktif untuk menyelesaikan masalah bangsa ini terkhusus masalah pertambangan di lambu. Namun bukan dengar demo yang anarkis. Pada tulisan sebelumnya yang berjudul “ngeBlog wajib bagi mahasiswa”. Saya bisa mengatakan demo yang anarkis tak pantas di letakkan di jaman sekarang. Tahun 1998 adalah tahun dimana rezim soeharto di lengserkan dengar berkumpulnya seluruh mahasiswa dari seluruh indonesia dan mampu menurunkan bapak presiden soeharto. namun itu hanya masa sejarah negara ini.  Pertanyaanya adalah adakah demo yang bersifat anarkis dapat meyelesaikaan masalah?, benarkan penguasa akan mengubris yang diteriakan menggunakan pengeras suara denga kata-kata yang tak di sensor.
Pagi itu saya ingin bertemu teman di kampus swasta di kota bima ini dan pada saat di depan kampus tersebut saya di hadang oleh mobil yang dilengkapi pengeras suara. Sepertinya ada mahasiwa yang berpidato mengenai tambang dan ingin melakukan demonstrasi di depan kantor bupati bima. Saya pun tertawa kecil, sebab saya tahu akan sia-sia. Saya pernah jadi mahasiswa dan pernah berdemo, namun sepertinya hanya membuang waktu dan tenaga. Peka terhadap masalah bukan harus dengan demo. Jika berdemo akan menghasilkan kesimplan itu baru hebat. Berteriak menggunakan pengeras suara  di depan umum bukan hanya polusi bunyi namun juga mengganggu aktifitas jalanan. Toh apa yang kita sampaikan dengan pengeras suara dengn kata-kata yang tak di sensor tak sampai 10% di gubris orang yang kita kritisi.
Saya mengambil contoh waktu saya menjadi mahasiswa di Fakultas Keguruan UIN Alauddin Makassar, waktu itu mahsiswa di hadapkan dengan masalah kebebasan ekspresi berorganisasi. Saya dan teman-temn tidak perlu melempar dan merusak vasilitas, kami menggunakan pengeras suara dengan perkatan yang sewajarnya sesuai latar belakang pendidikan kami, malah kami berpuisi. Dan bapak pimpinan atau Dekan kami menemui kami dan duduk bersama. Tulislah pada kertas kusam lalu kalian kirim ke media cetak untuk di publikasikan, mungkin itu lebih beretika dan saya yakin sang pemegang kekuasaan akan membacanya. Seminar atau dialog tak muncul dipermukaan yang sebenarnya itu lahir dari seorang mahasiswa.  Peka itu adalah tanggap, maka jika tanggap dengan masalah, aktifitas ter baik adalah lakukan dialog dimana yang memotori nya adalah mahasiswa.
Mahasiswa tidak boleh identik dengan kekerasan karena bukan preman, mahasiswa tak harus anarkis sebab mereka mengerti tentang resiko dampaknya. Perguruan tinggi di bima menjamur namun mahasiswa belum ada yang mau tampil untuk bicara lantang “inilah kami, mahasiswa yang pro rakyat, dan bukan anarkis”. Kenapa tidak diseminarkan saja masalah Pertambangan lambu? Padahal ini adalah wadah diskusi yang realistis, jangan mengandalkan akkun facebook untuk berdiskusi sebab sedikit sekali mengasilkan kesimpulan. Mengahdirkan pemateri yang berkompoten, bupati, gubernur, DPR, tentu dapat mencari pemecahan masalah tersebut. Kegiatan seperti ini adalah hak paten seorang mahasiswa ini dibuat dalam format kegiatan yang profesional.
Perguruan tinggi di bima hampir memiliki lembanga seni, kenapa tidak peka untuk berkreasi menggambarkan penderitaan masyarakat lambu dengan apresiasi sastra semalam, atau tetrikal. Ini lebih di hargai keberadaanya ketimbng kita harus berteriak. Bangun bangsa kita, bangun kampung halaman kita dengan cinta kasih, bukan mengandalkan gejolak amarah, tak ada yang tak terketuk pintu hatinya jika di ketuk dengan kritikan yang ber etika. Rendra sang pemilik “sajak mahasiswa” sangat jelas mengatakan mahasiswa punya peran penting untuk membantu bangsa dan untuk menyelesaiakan masalah lambu. Setidaknya jadi penengah antara masyarakat lambu dan pemilik kekuasaan.
Lamunan saya terhenti kala credy patty ku hmpir habis, teman saya meninggalkan meja kami berdua dan menuju tempat pembayaran makan dan minuman kami. Namun pendengaran tetap hangat mendengarkan dua lelaki yang membicarakan mengenai pertambangn di lambu tersebut. Semoga kedua lelaki tersebut adalah salah satu orang yang mampu menyeslesaikan masalah lambu sebab saya hanya mampu menulis. Tapi mungkinkah masalah pertambangan lambu itu seperti menu makanan (creby petty) yang di pesan lalu di makan dan kemudian di bayar. Semoga tidak.


Komentar

Mapio mengatakan…
kerenn>...semoga semuanya bisa terselesaikan dengan baik
tapi sayang kanda warna fontnya di ubah dech jangan kuning,,mata jadi rabung bacanya..
kwkwkwkwkw
Imey Patimeh mengatakan…
Gila!! ini baru namax anak muda berbakat...
kl punya aspirasi tidak harus tidak harus dijalanan sana, mencaci dan mencemooh tiada henti, memberikan pembelajaran tidak senonoh kepada publik khususnya generasi muda...
tapi adinda rudy hrs tau "mahasiswa bima" tak lagi waras sekarang, tiap hari turun ke jalan, tiap hari maunya blokir jalan, tiap hari (meskipun azan memanggil untuk berserah diri kepada Tuhan) mereka tdk lagi perduli, malam sambil menyusun rencana buruk mereka menegak minuman beralkohol, (diluar sana mereka pun seperti bkn tabu lagi berhubungan intim dengan ceweknya) apakah ini yg dinamakan idealisme??
aaaargh...tak ada lagi yg bs dipercaya sekarang. (tembokpun bs brbicara kl kita sedikit salah ngomong).
tp aku tak perduli,,
dan tulisan ini memberiku banyak pencerahan, sangat banyak. dan semangatku kembali menggeliat.
tarima kasi arieeee....heheeee...(lebay dikit ga pa2lah yg penting enjoy!)
Rudiyanto mengatakan…
maksih kanda ime, ini hanya goresan penaku yang begitu risih pada temn2 y selalu anarkiss
rhakateza mengatakan…
tulisan yang menarik, sayangnya warna tulisan dan latar sangat tidak nyaman untuk berlama-lama membaca. Tetap menulis bro!
Rudiyanto mengatakan…
makasih mas rhaka, mohon sarannya jika latarnya hitam, tulisanya warna y cocok apa?

Postingan Populer