KETIKA MUADZIN TAK LAGI DITERIMA DI MASJID


 (Cerpen : Jul As Whom)

 Dinding kamar yang murung dan sesekali angin dingin meringis di antara celah-celah jendela. Jam dinding berdetak seakan lebih cepat dari biasanya. Ada Sebuah foto usang bersandar di meja. Gambar itu satu-satunya kendaraan yang mengantarnya ke masa lalu. Seorang anak mengenakan pakaian seragam Taman Penddikan Al-Qur’an (TPA) menggendong piala yang tingginya hampir separuh tubuh anak itu. Dan Foto ini pula yang melontarkan kepercayaan dirinya melambung jauh ke langit biru karena tidak bisa diragukan lagi, pemilk wajah di foto itu adalah lelaki terbaik dengan prestasi adzan yang luar biasa.
                                                                                                ***
  “Apa yang kau harapkan dari sebuah masjid jika di dalamnya tak ada lagi yang berani menjadi seorang muadzin? Dan pernahkah kita membayangkan jika suatu saat nanti lantunan adzan di masjid-masjid kita tak lagi datang dari pita suara pemuda-pemuda kita tetapi malah datang dari suara pita kaset seperti halnya pengajian dan Shalawat yang tak lagi ada pemuda yang berani melantunkannya?”  begitulah ketakutan yang dialami Muadzin sewaktu penceramah kultum di bulan Ramadhan itu mengingatkan jama’ah subuh saat dia masih berusia enam tahun. Dia tersadar dan mungkin satu-satunya jama’ah di masjid itu yang terhentak oleh sergapan pertanyaan. Dia sekan-akan bertanggungjawab atas semua pertanyaan yang dilontarkan penceramah. Sejak saat itu dia berusaha datang lebih awal ke masjid  untuk melantunkan adzan.
Masjid langganannya terletak di sebuah desa yang tak terlalu jauh dari pusat kota. Meski desanya bukanlah sebuah desa seperti gambaran kota santri namun dihuni orang-orang taat. Jama’ah banyak menghabiskan waktu berkumpul di dalam masjid. Masjid merupakan satu di antara beberapa titik yang menjadi tempat berkumpul generasi tua yang senang bernostalgia. Mereka bercerita banyak hal, tentang prediksi-prediksi politik, tentang kondisi pertanian, tentang pemilihan kepala desa, dan yang paling seru ketika mereka perencanaan mereka kepada Muadzin.
Muadzin adalah seorang pemuda yang menghabiskan sebahagian hidupnya sebagai  yatim piatu. Sejak kecelakaan tragis yang menewaskan kedua orangtuanya, Dia dipelihara dan tinggal bersama sang kakek. Setahun yang lalu kakeknya meninggal dunia. Kini dia tinggal sebatangkara di rumah yang Cuma sesekali dikunjungi oleh sepupu dan kedua pamannya. Entah apa yang membuat kedua orangtuanya memberi nama Muadzin. namun; Sejak mendengar ceramah itu, dia meneguhkan dirinya sebagai seorang muadzin sejati yang tak tergantikan oleh siapapun. Nama adalah suatu janji, dan Muadzin adalah janji yang harus ditepati.
Setiap dasar yang bernilai baik akan memberi segala perbuatan yang menyerupainya juga menjadi ikut baik. Muadzin selalu menganggap prestasinya di masalalu sebagai tolak ukur kepuasan masyarakat pada dirinya yang pandai melantunkan adzan. Peringkat pertama juara adzan di tingkat kabupaten sangat mencengangkan dan membanggakan warga desa. Sebenarnya suaranya jauh dari standar melodius untuk kategori suara yang indah. Tapi mengingat pada saat itu, juri memperhatikan tajwid dan urutan rukun adzan yang fasih untuk seorang anak kecil berumur tujuh tahun. Seorang anak ajaib di masa seperti ini
Bagaimana tidak, sejak mendengar ceramah itu, dia mengambil alih seluruh aktivitas muadzin selama lima bulan. Melihat keberanian Muadzin kecil, Haji Madong pengurus masjid yang juga mantan kepala desa mengusulkan si kecil mengikuti MTQ anak mewakili kecamatan. Tidak ada satupun yang berani membantah beliau. Ternyata hasilnya sangat memuaskan.
Hingga dia berumur sepuluh tahun, Si Muadzin kecil masih bisa dimaklumi bahwa suaranya yang seperti gesekan biola yang dawainya tak ditekan penuh itu tidak menghasilkan nada yang pasti, lebih tepatnya seperti bunyi engsel pintu Baitul Jannah masjid tempat dia selalu melantunkan adzan. Yang parah, lantunan yang memekakkan telinga itu masih dia pertahankan hingga sekarang.
Tak ada yang berani menegurnya apalagi melarangnya. Dg. Jarre sang kakek adalah keturunan kedua dari pendiri masjid Baitul Jannah. Jamaah sangat segan dengan beliau. Dan Beliau sangat senang cucunya melantunkan adzan di setiap memasuki waktu shalat fardu.
Pernah ada sekali waktu beberapa jama’ah berusaha mengganti posisi Muadzin sebagai muadzin. Mereka menunggu datangnya shalat maghrib. Usaha ini mendapat dukung kuat oleh pengurus masjid. Pada saat doja masjid menyalakan tape recorder untuk mengingatkan bahwa waktu shalat maghrib sudah dekat. Beberapa jama’ah itu  berlarian ke mesjid untuk segera merebut mic yang biasa digunakan Muadzin memamerkan suara buruknya di seantero desa. Namun, setiba disana mereka tercengang. Terkejut bukan main. Seseorang telah berdiri di depan mic menutup mata, tampak khusuk, tapi tidak sedang melakukan shalat. Mereka bertanya-tanya apa yang dia lakukan sendirian disana. Dia adalah Muadzin dan setelah lantunan shalawat diakhiri oleh doja. Seperti waktu-waktu sebelumnya akhirnya suara cempreng Muadzin mencemari langit senja saat itu.
Tak ada upaya yang bisa dilakukan jama’ah untuk menghalangi Muadzin melantunkan adzan yang merusak gendang telinga itu. Namun; sepeninggal Dg. Jarre, sebuah jalan keluar terhampar luas untuk menggantikan posisi Muadzin sebagai pengganti Wakil Bilal Bin Rabbah di Baitul Jannah. Pembicaraan hangat diantara orang-orang kampung mulai terfokus pada pengusiran Muadzin. Padahal sebulan kemudian ada pelaksanaan pemilihan kepala desa yang seharusnya lebih hangat dibicarakan di kampung itu. Mereka tidak punya alasan untuk mengusir Muadzin dari kampung. Tak mungkin mereka mengusir Muadzin dengan paksa. Dia adalah pemuda yang baik, penurut, dan tidak memiliki cela seperti kebanyakan pemuda di kampung.  
Mereka akhirnya bersepakat agar warga mengumpulkan uang untuk mengongkosi Muadzin ke Mekah untuk naik Haji tapi tidak diberi ongkos untuk balik. Mereka berharap Haji Madong mau membantu mereka. Semalam Ba’da Isya, Haji Madong meminta Muadzin untuk tinggal sejenak untuk membicarakan sesuatu. Hampir seluruh warga kampung berbondong-bondong ingin menyaksikan peristiwa yang paling ditunggunya itu. “pernah kau berpikir untuk menunaikan ibadah Haji seperti mimpi orang-orang Mukmin yang lain?”  Haji Madong mengawali. Muadzin bingung “apa maksud Puang?” sambil melihat orang-orang kampung yang semakn lama semakin banyak, “saya tidak mengerti, tolong puang jelaskan padaku”.
Haji Madong berusaha menenangkan diri “begini, kau disini sudah banyak membantu kami. sudah sepatutnya kau mendapat hadiah dari kami. Warga desa sudah mengumpulkan uang yang cukup banyak untuk membayar keberangkatanmu ke tanah suci.” Haji Badong memperhatikan orang-orang di sekitarnya yang manggut-manggut pertanda apa yang dikatakannya sudah tepat, “Tapi sedikit agak kewalahan untuk mencarikanmu uang untuk pulang. Kami berharap kau banyak belajarlah disana dari apa yang kau lakukan selama ini. Tak semua suara hati pantas didengar oleh semua orang.” Tiba-tiba raut muka Haji Madong menjadi ceria. “atau mungkin kau pernah bercita-cita menjadi pengganti Bilal di Masjidil haram disana?” mesjid jadi gaduh oleh tawa kecil warga yang menyaksikannya. Merasa disindir, Muadzin menunduk seperti kerbau yang baru saja dicocok.
Haji Madong menambahkan, “ini buku tabanas untukmu. semua uang hasil patungan warga selama hamipir setahun ada disini. Gunakan seperlunya. Tandatangan disini biar surat kuasanya Amir yang urus.” Semua keinginan Haji Madong diikutinya tanpa sedikitpun membantah. Setelah menandatangani beberapa surat.  Dia pergi tanpa menoleh kepada siapapun. Kepalanya hanya memandang kakinya yang begitu berat dia langkahkan.
Dinding yang murung dan detak jam yang tampak semakin cepat membawa hasrat Muadzin untuk segera meninggalkan kamar yang dihuninya semenjak kecil itu. Barang-barang bawaan yang seperlunya dia masukkan dicelah-celah tas yang masih kosong. Entah kemana dia akan pergi. Yang pasti dia sadar tidak akan sampai ke Mekah dengan uang yang sedikit ini. Dia melihat kembali foto dirinya lima belas tahun silam. Semuanya sirna. Nama tak lain sebuah janji dan ternyata sulit untuk ditepati.
 Pengeras suara masjid kembali mengalunkan suara ayat-ayat suci Al-Qur’an menandakan waktu shalat Shubuh telah dekat. Haji Madong terjaga dan segera mengambil wudhu dan bergegas ke masjid. Dia membentangkan sajadahnya. Dia menoleh kebelakang, seperti biasa belum ada jama’ah kecuali istri penjaga masjid. Dia melirik ke arah mic yang biasa digunakan Muadzin melantunkan adzan yang mengusik itu. Muadzin biasanya sudah ada di sana berdiri menunggu tapi sepertinya dia tidak akan pernah datang.
Haji Madong merasa menjadi orang yang paling bersalah. Orang yang pernah mempopulerkan Muadzin lima belas tahun silam sebagai seorang muadzin. dia pulalah penceramah subuh yang pernah menatap dalam mata Muadzin kecil dengan memberondong pertanyaan-pertanyaan yang mengubah hidup Muadzin dan kini dia mengusir si pengumandang adzan itu.
Dia melirik sekali lagi kebelakang. belum ada jama’ah laki-laki yang datang kecuali dirinya ditambah seorang wanita istri penjaga masjid yang menggantikan pekerjaan suaminya. Tak sanggup menahan rasa kecewa dan malu yang mendalam, Haji Madong meminta doja menyalakan lantunan suara adzan dari tape recorder agar semua warga sadar betapa dia kehilangan seorang Muadzin.
Untuk kali pertama selama lima belas tahun suara adzan mengalir merdu mengisi langit fajar yang indah, membelai telinga setiap yang mendengarnya agar terlelap jauh ke dalam buai mimpi.    


Komentar

Postingan Populer