CERPEN : IKAN ASIN AYAH
Ikan asin dalam Sebuah Pementasan Teater (UKM SB eSA UIN Makassar) |
Angin yang datang pagi itu terasa cukup dingin meskipun hembusannya tidak terlalu kencang. Dari arah laut, ia telah melewati dua-tiga bukit yang dipenuhi rimbun ragam pohonan, hingga hembusannya telah melemah ketika masuk ke jendela kamarku, jendela tanpa gorden, apalagi daun penutup. Angin seperti ini biasa bagi kami yang hidup di wilayah pesisir meski terhitung agak jauh dari bibir pantai. Dengan angin itu, sebenarnya aku masih enggan melepas sarung yang menyelimuti badan, tetapi warna pagi serta kicauan burung seolah mendesakku untuk bangun melawan dingin dan melakukan aktivitas rumah. Aku harus membantu ibu, ayah, dan adikku. Serta yang yang lebih penting keceriaan kami setiap hari, apalagi dengan adik kecilku yang semakin lincah berjalan, bermain, tertawa, walau masih menyusu.
Aku baru saja terbangun saat di bilik sebelah, adikku masih disusui ibu. Dari jendela, ayah tampak sedang bersiap-siap bekal turun ke laut mencari ikan. Ia akan kembali saat senja menjelang, kadang pulang sejenak di siang hari untuk makan dan setelah itu kembali pergi, mungkin tidak menjala, tetapi menjual ikan hasil tangkapannya.
"Ma', aku ke laut ya?" Pamit ayah.
"Ma', jangan sekali-kali ada yang makan ikan asinku itu, siapapun dia", tegas ayah sambil menunjuk ke sudut dapur, samping para-para. Lalu bergegas ia berangkat. Perahu kecil dan jalannya telah menunggu di parkiran pantai.
Pagi itu ayah sedikit telat melakukan rutinitasnya melaut. Bukan lalai, tapi sengaja. Beberapa pekan terakhir ikan sangat sepi. Para nelayan semakin kesulitan. Mereka tidak mampu lagi berpikir apa yang harus dilakukan untuk keluar dari masalah itu sebagai masalah bersama. Mereka hanya memikirkan bagaimana masing-masing keluarganya bisa makan untuk menjawab rasa lapar yang setiap hari pasti datang.
Ikan yang makin langka sebenarnya karena ulah para nelayan juga. Mereka selalu menggunakan cara-cara prakatis dan instan untuk hasil tangkapan berlipat ganda. Tetapi cara itu justru merusak hampir seluruh biota yang dibutuhkan ikan untuk tinggal, makan dan berkembang biak. Ikan-ikan lalu pergi jauh mencari tempat lain. Para nelayan semakin jauh keluar mengejar ikan-ikan itu dengan kemampuan yang sudah pasti terbatas. Apalagi nelayan kecil seperti ayah. Yah, begitulah. Diluar kemampuan, mereka tak dapat berbuat apa-apa.
Ayah senang sekali dengan ikan asin meski ikan sudah langka. Sebenarnya ikan asin yang dijemur ayah di para-para bukan ikan, tetapi tikus. Dua ekor tikus yang terperangkap dalam jalanya kemarin. Bagian kepala, kaki dan ekor dibuang, bagian badan dibelah dua dan menjadi tampak lebar, digarami, ditusuk lalu dijemur. Tikus itu adalah alternatif untuk memenuhi selera. Makanya ia tak mau bila disantap orang.
Sore hari ketika gelap hampir tiba, setelah keceriaan siang berlalu, seperti biasanya, adik harus segera diberi makan sebelum ia tertidur. Karena kebiasaan itu, ia bahkan lebih awal memintanya. Dan sore itu ia memintanya dengan rengek tangis sambil menunjuk-nunjuk ke arah ikan asin. Ia tak ingin makanan lain. Ibu tidak mungkin memberikannya. Tangis adik semakin keras, keras dengan mengguling-gulingkan tubuh di atas lantai, bergetar seakan hendak kehilangan nafasnya.
Rasa kasih ibu pun bergelora, tidak tega melihat adik. Pesan ayah juga semakin terngiang. Tetapi kasih sayang ibu toh tak mampu terbendung. Dan diirislah sedikit di bagian ekor dari ikan asin ayah, dibakar lalu diberikan ke adik. Isak tangis belum habis saat adik melahap setiap suapan yang diberikan.
Belum juga usai makan, ayah dengan lelahnya datang dari laut. Melihat makanan adik, ayah langsung curiga dan terus ke pojok dapur. Betul. Ada bagian dari ikannya yang telah terpotong. Dalam keadaan lelah, emosi sulit terkendali. Apalagi mungkin sejak di laut ia telah membayangkan betapa nikmatnya ikan asin bila makan malam. Setiba di rumah, kenikmatan itu telah mencapai ubun-ubun. Rasa khasnya telah memenuhi seluruh rongga mulut, menarik keluar liur-liur yang terpendam dalam lambungnya yang lapar.
"Ma, saya kan sudah bilang jangan berikan pada siapa pun."
"Tapi saya tidak tega dan tidak tahan melihat penderitaannya pa. Dia kan anakmu, anak kita. Apa salahnya merasakan sedikit dari milikmu, merasakan sedikit dari apa yang kita suka?"
Keinginan menggebu-gebu terhadap ikan asin telah sesak mengisi ruang nafsu, lalu berubah menjadi kekesalan dan kemarahan menggebu-gebu kepada ibu. Gbrak… bruk… brak…. Tamparan, pukulan, dan injakan berkali-kali mendarat di wajah, kepala dan beberapa bagian tubuh ibu. Cepat sekali peristiwa itu terjadi. Tentu saja ibu tak berdaya dibuatnya. Ia terkapar. Tak mampu lagi ia menangis meski seisak pun tangis. Bukan air mata yang membasahi pipi, tetapi darah. Ya, darah kasih sayang itu merah mengalir perlahan mengelamkan hitamnya lantai. Kursi kayu yang telah patah bertengger tenang di atas perut ibu.
Aku dan adik hanya bisa histeris menangis. Adik mungkin menangis karena kaget mendengar gemuruh keras dari amukan ayah. Tapi aku lebih dari itu sudah dapat merasakan sakitnya penderitaan dan kepedihan ibu. Mungkin ibu telah mati. Aku memeluk adik erat-erat, menciumnya dalam-dalam sambil berusaha menenangkannya. Semakin adik perlahan diam, semakin aku tak mampu menghentikan histeris tangisku sendiri. Kesedihanku semakin dalam.
"Ibuuu .... hik...hik.... janghan maaati buu .... janghan hik... thinggalkhan... hik aha...dikku ...hik... "
Aku semakin histeris. Kudekap adik makin dalam. kurapatkan kepalannya di pipi kananku. Rambutnya masih menyimpan bau susu ibu. Kukecup bibir lembutnya. Aroma tikus asin itu masih terasa. Kasihan betul adikku. Ia belum mengerti semua yang terjadi. Tapi ia tetap saja masih membutuhkan ibu, menyusu sambil mendekap di dada ibu hingga terlelap di malam hari. Ia masih membutuhkan nyanyian ibu yang berulang-ulang sepanjang ayunannya.
Ayah sudah tak nampak ketika rumah diam tanpa tangis. Sesekali masih ada isakan yang justru menjadi seperti nyanyian penyambut sepi. Ya, rumah di awal malam itu mulai menjalani sepinya. adik tertidur setelah lelah menangis, tertidur saat makannya belum selesai, tertidur sebelum menyusu. Ibu masih tergeletak di atas lantai tak berdaya seolah tertidur. Dan aku masih disamping adik, menjaga tidurnya hingga ikut tertidur juga. Rumah sedang menjalani malam sepinya.
Dengan tertatih-tatih, wajah lebam membiru dan darah kering, ibu menyeret kakinya menggapai kami di tempat tidur saat adik menangis di larut malam. Ia tau adik pasti kelaparan dan kehausan, sedang aku juga tak mampu berbuat banyak. Disusuilah adikku. Air susu ibu mengalir bersusulan dengan air matanya. Kain sarung yang ia gunakan kembali basah setelah sore tadi juga basah dengan darah amarah ayah.
Sambil duduk menyusu, ibu memanggilku duduk di sisinya. Aku ke sisinya. Tubuh hangatnya membuatku merasa tak membutuhkan apa-apa dan kemana-mana lagi. Di sisinya sudah cukup. Ia membelai rambut kusutku yang juga masih menyimpan basahan air mata. Ia seolah enggan menyampaikan sesuatu. Detak jantungnya kencang menembus jiwaku. Setelah beberapa lama aku memeluk sambil menikmati belaiannya, menjalani kebisuan sepi, ibu mulai bicara dengan menarik nafas dalam-dalam dan mengeluarkannya perlahan. Hembusannya panas menyapu wajahku.
"Nak, ibu akan menetek adikmu sepanjang sisa malam ini. Setelah itu ibu mengandalkanmu untuk menjaga dan merawatnya. Besok ibu akan pergi jauh meninggalkan rumah ini. Ibu tidak pantas lagi di sini, karena ayahmu sekarang lebih menyayangi ikan asinnya daripada ibu dan anak-anaknya. Besok bila kalian bangun, dan tidak melihatku lagi, berarti aku sudah pergi tinggalkan rumah ini. Bila ayah mencariku, bilang padanya tak usah mencari ibu. Percuma saja. Ayah tidak akan menemukan ibu lagi".
Aku hanya bisa menahan tangis sambil berharap ibu tidak sepenuh hati dengan niatnya. Tak mungkin ibu yang menyayangi kami meninggalkan kami dalam penderitaan batin yang sangat menyiksa. Tak terbayangkan beratnya menjaga adik tanpa ibu. Tak terbayangkan sulitnya adik tanpa ibu. Aku harus memberinya kasih sayang, sementara aku sendiri masih membutuhkan kasih sayang itu dari ibu. Betapa menderitanya kami tanpa ibu. Tetapi aku juga tak mampu memohon ibu untuk tidak pergi, karena aku tau ibu sangat menyayangi kami.
Aku terdiam, mata terasa pedis, basah dan airnya mengalir sangat kencang di pipiku. Ibu juga diam menyusui adik sambil menyapu-nyapu kepalaku dengan tangannya. Ia tak lagi menangis. Kelembutan jarinya meluluhkan segala pikiranku terhadapnya. Semuanya terlarut dalam diam. Tak ada suara jangkrik, tokek, atau mesin-mesin perahu yang biasanya terdengar dari kejauhan. Namun batin terus bergejolak. kasih dan sayang malam itu seolah sengaja tertuang habis untuk saat-saat terakhirnya. Dan tanpa sadar aku telah lelap tertidur.
***
Pagi hari tak lagi terasa dingin. Aku terjaga dengan suara tangis adik. Ibu yang semalam berbaring di antara kami, kini sudah tiada. Bergegas aku menggendong adik menuju dapur memberinya minum air putih. Lalu memeriksa rumah, ayah masih tertidur. Ke seputar rumah juga tidak ada. Jangan-jangan ibu betul-betul telah pergi. Aku keluar ke jalan sambil terus menggendong adik. Belum jauh dari rumah, setiap beberapa jarak langkah nampak sobekan-sobekan sarung yang digunakan ibu semalam.
“Oh adikku, lihatlah! ibu telah pergi meninggalkan kita. Dan ia tidak lagi memakai sarung.” Kataku sambil mencium adikku.
Aku mengikuti jejak sobekan. Ke jalan setapak di sisi semak. Naik ke bukit-bukit karang. Jauh sekali hingga jejak terputus. Sarung ibu telah habis. Terlalu banyak lorong setapak dan aku memeriksanya satu persatu. Di lorong ke tujuh aku mendapatkan sobekan baju yang digunakan ibu semalam.
“Hik… hik… adikku, lihatlah! Kini ibu pergi tidak memakai baju lagi. Hik… hik… Andai saja kau tidak menagih ikan asin itu, nasib kita tidak akan seperti ini. Ayah hanya sayang ikannya.” Aku menahan tangisku dan segera menyadari bila adikku tidak memahami apa yang ia lakukan dan yang kami alami.
Aku belum mengenal daerah itu. Jauh sekali jejak sobekan baju. Aku baru sadar bila matahari telah menuruni separuh ufuk barat saat akhirnya kami tiba di sebuah pantai. Beberapa nelayan sedang mendorong perahunya ke laut. Di sisi jalan setapak aku bertanya kepada seorang bapak yang sedang memperbaiki perahu.
“Om, apakah om melihat seorang ibu lewat di tempat ini?”
“Oh, iya. Sejak siang tadi dia singgah di atas batu sana di ujung pantai. Ia turun ke laut, mungkin mandi, tapi sampai sekarang ia belum juga naik.”
Setelah berterima kasih, aku menuju ke batu. Betul. Aku mendapatkan kalung ibu tergelatak di atasnya. Tapi ke mana ibu belum juga muncul. Tenggelam? Ah, tak ada yang dapat kuperbuat. Disinilah akhir jejak ibu. Sambil memangku dan memeluk adik, aku duduk di batu itu dan membiarkan kakiku mencapai air laut yang tenang mengilaukan senja. Adik tak pernah menangis, bahkan sejak tadi sepanjang jalan ia seolah mengajakku bermain seperti hari-hari kemarin. Aku tak pernah bosan mencium dan memeluknya erat. Aku bernyanyi-nyanyi memanggil ibu.
“Oh ibuku sayang sedang malang
Datanglah tetek adikku
Yang rindu menyusu
Di atas detak jantungmu.”
Aku terus mengulangi lagu itu sambil menggoyangkan air dengan kedua kakiku. Gelombang air meluas, membesar, memecah bayangan senja. Semakin senja. Aku tak ingin mengingat ayah tapi tak bisa, karena aku sedang membencinya. Tak ingin pulang, ingin menunggu ibu, tapi adik butuh tempat tidur. Nyanyianku yang tak berhenti untuk memanggil ibu justru mengantar matahari semakin cepat merendah ke tepi laut yang semakin jingga.
Tepat depan kakiku, ibu tiba-tiba muncul di permukaan. Ia seperti paham bahwa pantai telah sepi. Jantungku seperti tetabuhan mengguncang seisi kampung. Ibu mengambil adik, menggendong dan menyusu. Betapa rakusnya adikku terlihat.
“Nak, datanglah ke tempat ini setiap fajar dan senja, saat semua sedang sepi. Jangan bilang pada siapa pun termasuk ayahmu. Selama beberapa hari kita masih bisa bertemu, setelah itu tidak mungkin lagi karena saya akan menjadi makhluk laut yang luas ini”. Tentu saja aku menangis mendengar ucapan itu.
“Ssst, jangan sedih dengan ini anakku. Pulanglah! Sebentar lagi akan gelap. Bukan orang tua yang dapat membesarkan anaknya, tapi kasih sayang Tuhan.”
Penulis : Hamdan
Makassar, 29 Oktober 2009
(cerita ini dikembangkan dari cerita rakyat buton berjudul wandiu-diu )
Aku baru saja terbangun saat di bilik sebelah, adikku masih disusui ibu. Dari jendela, ayah tampak sedang bersiap-siap bekal turun ke laut mencari ikan. Ia akan kembali saat senja menjelang, kadang pulang sejenak di siang hari untuk makan dan setelah itu kembali pergi, mungkin tidak menjala, tetapi menjual ikan hasil tangkapannya.
"Ma', aku ke laut ya?" Pamit ayah.
"Ma', jangan sekali-kali ada yang makan ikan asinku itu, siapapun dia", tegas ayah sambil menunjuk ke sudut dapur, samping para-para. Lalu bergegas ia berangkat. Perahu kecil dan jalannya telah menunggu di parkiran pantai.
Pagi itu ayah sedikit telat melakukan rutinitasnya melaut. Bukan lalai, tapi sengaja. Beberapa pekan terakhir ikan sangat sepi. Para nelayan semakin kesulitan. Mereka tidak mampu lagi berpikir apa yang harus dilakukan untuk keluar dari masalah itu sebagai masalah bersama. Mereka hanya memikirkan bagaimana masing-masing keluarganya bisa makan untuk menjawab rasa lapar yang setiap hari pasti datang.
Ikan yang makin langka sebenarnya karena ulah para nelayan juga. Mereka selalu menggunakan cara-cara prakatis dan instan untuk hasil tangkapan berlipat ganda. Tetapi cara itu justru merusak hampir seluruh biota yang dibutuhkan ikan untuk tinggal, makan dan berkembang biak. Ikan-ikan lalu pergi jauh mencari tempat lain. Para nelayan semakin jauh keluar mengejar ikan-ikan itu dengan kemampuan yang sudah pasti terbatas. Apalagi nelayan kecil seperti ayah. Yah, begitulah. Diluar kemampuan, mereka tak dapat berbuat apa-apa.
Ayah senang sekali dengan ikan asin meski ikan sudah langka. Sebenarnya ikan asin yang dijemur ayah di para-para bukan ikan, tetapi tikus. Dua ekor tikus yang terperangkap dalam jalanya kemarin. Bagian kepala, kaki dan ekor dibuang, bagian badan dibelah dua dan menjadi tampak lebar, digarami, ditusuk lalu dijemur. Tikus itu adalah alternatif untuk memenuhi selera. Makanya ia tak mau bila disantap orang.
Sore hari ketika gelap hampir tiba, setelah keceriaan siang berlalu, seperti biasanya, adik harus segera diberi makan sebelum ia tertidur. Karena kebiasaan itu, ia bahkan lebih awal memintanya. Dan sore itu ia memintanya dengan rengek tangis sambil menunjuk-nunjuk ke arah ikan asin. Ia tak ingin makanan lain. Ibu tidak mungkin memberikannya. Tangis adik semakin keras, keras dengan mengguling-gulingkan tubuh di atas lantai, bergetar seakan hendak kehilangan nafasnya.
Rasa kasih ibu pun bergelora, tidak tega melihat adik. Pesan ayah juga semakin terngiang. Tetapi kasih sayang ibu toh tak mampu terbendung. Dan diirislah sedikit di bagian ekor dari ikan asin ayah, dibakar lalu diberikan ke adik. Isak tangis belum habis saat adik melahap setiap suapan yang diberikan.
Belum juga usai makan, ayah dengan lelahnya datang dari laut. Melihat makanan adik, ayah langsung curiga dan terus ke pojok dapur. Betul. Ada bagian dari ikannya yang telah terpotong. Dalam keadaan lelah, emosi sulit terkendali. Apalagi mungkin sejak di laut ia telah membayangkan betapa nikmatnya ikan asin bila makan malam. Setiba di rumah, kenikmatan itu telah mencapai ubun-ubun. Rasa khasnya telah memenuhi seluruh rongga mulut, menarik keluar liur-liur yang terpendam dalam lambungnya yang lapar.
"Ma, saya kan sudah bilang jangan berikan pada siapa pun."
"Tapi saya tidak tega dan tidak tahan melihat penderitaannya pa. Dia kan anakmu, anak kita. Apa salahnya merasakan sedikit dari milikmu, merasakan sedikit dari apa yang kita suka?"
Keinginan menggebu-gebu terhadap ikan asin telah sesak mengisi ruang nafsu, lalu berubah menjadi kekesalan dan kemarahan menggebu-gebu kepada ibu. Gbrak… bruk… brak…. Tamparan, pukulan, dan injakan berkali-kali mendarat di wajah, kepala dan beberapa bagian tubuh ibu. Cepat sekali peristiwa itu terjadi. Tentu saja ibu tak berdaya dibuatnya. Ia terkapar. Tak mampu lagi ia menangis meski seisak pun tangis. Bukan air mata yang membasahi pipi, tetapi darah. Ya, darah kasih sayang itu merah mengalir perlahan mengelamkan hitamnya lantai. Kursi kayu yang telah patah bertengger tenang di atas perut ibu.
Aku dan adik hanya bisa histeris menangis. Adik mungkin menangis karena kaget mendengar gemuruh keras dari amukan ayah. Tapi aku lebih dari itu sudah dapat merasakan sakitnya penderitaan dan kepedihan ibu. Mungkin ibu telah mati. Aku memeluk adik erat-erat, menciumnya dalam-dalam sambil berusaha menenangkannya. Semakin adik perlahan diam, semakin aku tak mampu menghentikan histeris tangisku sendiri. Kesedihanku semakin dalam.
"Ibuuu .... hik...hik.... janghan maaati buu .... janghan hik... thinggalkhan... hik aha...dikku ...hik... "
Aku semakin histeris. Kudekap adik makin dalam. kurapatkan kepalannya di pipi kananku. Rambutnya masih menyimpan bau susu ibu. Kukecup bibir lembutnya. Aroma tikus asin itu masih terasa. Kasihan betul adikku. Ia belum mengerti semua yang terjadi. Tapi ia tetap saja masih membutuhkan ibu, menyusu sambil mendekap di dada ibu hingga terlelap di malam hari. Ia masih membutuhkan nyanyian ibu yang berulang-ulang sepanjang ayunannya.
Ayah sudah tak nampak ketika rumah diam tanpa tangis. Sesekali masih ada isakan yang justru menjadi seperti nyanyian penyambut sepi. Ya, rumah di awal malam itu mulai menjalani sepinya. adik tertidur setelah lelah menangis, tertidur saat makannya belum selesai, tertidur sebelum menyusu. Ibu masih tergeletak di atas lantai tak berdaya seolah tertidur. Dan aku masih disamping adik, menjaga tidurnya hingga ikut tertidur juga. Rumah sedang menjalani malam sepinya.
Dengan tertatih-tatih, wajah lebam membiru dan darah kering, ibu menyeret kakinya menggapai kami di tempat tidur saat adik menangis di larut malam. Ia tau adik pasti kelaparan dan kehausan, sedang aku juga tak mampu berbuat banyak. Disusuilah adikku. Air susu ibu mengalir bersusulan dengan air matanya. Kain sarung yang ia gunakan kembali basah setelah sore tadi juga basah dengan darah amarah ayah.
Sambil duduk menyusu, ibu memanggilku duduk di sisinya. Aku ke sisinya. Tubuh hangatnya membuatku merasa tak membutuhkan apa-apa dan kemana-mana lagi. Di sisinya sudah cukup. Ia membelai rambut kusutku yang juga masih menyimpan basahan air mata. Ia seolah enggan menyampaikan sesuatu. Detak jantungnya kencang menembus jiwaku. Setelah beberapa lama aku memeluk sambil menikmati belaiannya, menjalani kebisuan sepi, ibu mulai bicara dengan menarik nafas dalam-dalam dan mengeluarkannya perlahan. Hembusannya panas menyapu wajahku.
"Nak, ibu akan menetek adikmu sepanjang sisa malam ini. Setelah itu ibu mengandalkanmu untuk menjaga dan merawatnya. Besok ibu akan pergi jauh meninggalkan rumah ini. Ibu tidak pantas lagi di sini, karena ayahmu sekarang lebih menyayangi ikan asinnya daripada ibu dan anak-anaknya. Besok bila kalian bangun, dan tidak melihatku lagi, berarti aku sudah pergi tinggalkan rumah ini. Bila ayah mencariku, bilang padanya tak usah mencari ibu. Percuma saja. Ayah tidak akan menemukan ibu lagi".
Aku hanya bisa menahan tangis sambil berharap ibu tidak sepenuh hati dengan niatnya. Tak mungkin ibu yang menyayangi kami meninggalkan kami dalam penderitaan batin yang sangat menyiksa. Tak terbayangkan beratnya menjaga adik tanpa ibu. Tak terbayangkan sulitnya adik tanpa ibu. Aku harus memberinya kasih sayang, sementara aku sendiri masih membutuhkan kasih sayang itu dari ibu. Betapa menderitanya kami tanpa ibu. Tetapi aku juga tak mampu memohon ibu untuk tidak pergi, karena aku tau ibu sangat menyayangi kami.
Aku terdiam, mata terasa pedis, basah dan airnya mengalir sangat kencang di pipiku. Ibu juga diam menyusui adik sambil menyapu-nyapu kepalaku dengan tangannya. Ia tak lagi menangis. Kelembutan jarinya meluluhkan segala pikiranku terhadapnya. Semuanya terlarut dalam diam. Tak ada suara jangkrik, tokek, atau mesin-mesin perahu yang biasanya terdengar dari kejauhan. Namun batin terus bergejolak. kasih dan sayang malam itu seolah sengaja tertuang habis untuk saat-saat terakhirnya. Dan tanpa sadar aku telah lelap tertidur.
***
Pagi hari tak lagi terasa dingin. Aku terjaga dengan suara tangis adik. Ibu yang semalam berbaring di antara kami, kini sudah tiada. Bergegas aku menggendong adik menuju dapur memberinya minum air putih. Lalu memeriksa rumah, ayah masih tertidur. Ke seputar rumah juga tidak ada. Jangan-jangan ibu betul-betul telah pergi. Aku keluar ke jalan sambil terus menggendong adik. Belum jauh dari rumah, setiap beberapa jarak langkah nampak sobekan-sobekan sarung yang digunakan ibu semalam.
“Oh adikku, lihatlah! ibu telah pergi meninggalkan kita. Dan ia tidak lagi memakai sarung.” Kataku sambil mencium adikku.
Aku mengikuti jejak sobekan. Ke jalan setapak di sisi semak. Naik ke bukit-bukit karang. Jauh sekali hingga jejak terputus. Sarung ibu telah habis. Terlalu banyak lorong setapak dan aku memeriksanya satu persatu. Di lorong ke tujuh aku mendapatkan sobekan baju yang digunakan ibu semalam.
“Hik… hik… adikku, lihatlah! Kini ibu pergi tidak memakai baju lagi. Hik… hik… Andai saja kau tidak menagih ikan asin itu, nasib kita tidak akan seperti ini. Ayah hanya sayang ikannya.” Aku menahan tangisku dan segera menyadari bila adikku tidak memahami apa yang ia lakukan dan yang kami alami.
Aku belum mengenal daerah itu. Jauh sekali jejak sobekan baju. Aku baru sadar bila matahari telah menuruni separuh ufuk barat saat akhirnya kami tiba di sebuah pantai. Beberapa nelayan sedang mendorong perahunya ke laut. Di sisi jalan setapak aku bertanya kepada seorang bapak yang sedang memperbaiki perahu.
“Om, apakah om melihat seorang ibu lewat di tempat ini?”
“Oh, iya. Sejak siang tadi dia singgah di atas batu sana di ujung pantai. Ia turun ke laut, mungkin mandi, tapi sampai sekarang ia belum juga naik.”
Setelah berterima kasih, aku menuju ke batu. Betul. Aku mendapatkan kalung ibu tergelatak di atasnya. Tapi ke mana ibu belum juga muncul. Tenggelam? Ah, tak ada yang dapat kuperbuat. Disinilah akhir jejak ibu. Sambil memangku dan memeluk adik, aku duduk di batu itu dan membiarkan kakiku mencapai air laut yang tenang mengilaukan senja. Adik tak pernah menangis, bahkan sejak tadi sepanjang jalan ia seolah mengajakku bermain seperti hari-hari kemarin. Aku tak pernah bosan mencium dan memeluknya erat. Aku bernyanyi-nyanyi memanggil ibu.
“Oh ibuku sayang sedang malang
Datanglah tetek adikku
Yang rindu menyusu
Di atas detak jantungmu.”
Aku terus mengulangi lagu itu sambil menggoyangkan air dengan kedua kakiku. Gelombang air meluas, membesar, memecah bayangan senja. Semakin senja. Aku tak ingin mengingat ayah tapi tak bisa, karena aku sedang membencinya. Tak ingin pulang, ingin menunggu ibu, tapi adik butuh tempat tidur. Nyanyianku yang tak berhenti untuk memanggil ibu justru mengantar matahari semakin cepat merendah ke tepi laut yang semakin jingga.
Tepat depan kakiku, ibu tiba-tiba muncul di permukaan. Ia seperti paham bahwa pantai telah sepi. Jantungku seperti tetabuhan mengguncang seisi kampung. Ibu mengambil adik, menggendong dan menyusu. Betapa rakusnya adikku terlihat.
“Nak, datanglah ke tempat ini setiap fajar dan senja, saat semua sedang sepi. Jangan bilang pada siapa pun termasuk ayahmu. Selama beberapa hari kita masih bisa bertemu, setelah itu tidak mungkin lagi karena saya akan menjadi makhluk laut yang luas ini”. Tentu saja aku menangis mendengar ucapan itu.
“Ssst, jangan sedih dengan ini anakku. Pulanglah! Sebentar lagi akan gelap. Bukan orang tua yang dapat membesarkan anaknya, tapi kasih sayang Tuhan.”
Penulis : Hamdan
Makassar, 29 Oktober 2009
(cerita ini dikembangkan dari cerita rakyat buton berjudul wandiu-diu )
Komentar