PASRAH MEMILIH
Saya benar-benar buntu berfikir antara pulang mengikuti ibu kembali ke kampung halaman atau tetap bertahan di Makasssar. Pertubrukan pikiran membuat saya bimbang untuk memutuskan, saya benar-benar tak mampu memilih, saya benar-benar tak bisa berbuat apa-apa. Pun mungkin saya akan tetap bertahan dengan apa yang menjadi keputusan saya. Satu hari sebelum ibu pulang, kami mengalami perdebatan panjang tentang kepulanganku, saya benar-benar berdosa harus menentang perkataan ibu, saya tak tahu harus bicara apa tentang keputusan untuk tidak mengikuti ibu pulang. Ibu tetap kekeh untuk memaksa saya pulang, alasan ibu memang sangat masuk diakal, sebab ibu tahu apa yang terbaik untukku. Berbagai alasan saya lontarkan ke ibu, “ijaza belum keluar mama, mana lagi rudi sudah terlanjur melatih puisi anak-anak SMK Bayangkara, apalagi rudi masih berat mama untuk pulang, rudi harus siapkan mental untuk pulang” pintahku dengan nada agak tinggi kepada ibu. Duh, saya tak bisa ungkapkan perasaan pada ibu bahwa saya sangat bersalah sudah meninggikan suara, pun kulihat raut wajah ibu memang sangat pasrah untuk membujuk saya pulang.
Dengan kasih sayang ibu pun berusaha meredam suara saya yang makin meninggi “mental apalagi yang perlu kau siapkan,?” Tanya ibu dengan nada lucu. Ibu memang sangat tahu psikologi jiwa saya, ibu merendahkan suaranya disaat suara anaknya meninggi, ibu sangat tau jika saya marah ibu cepat memcairkan suasana. Tuhan, kapan saya seperti ibu, yang bisa mengerti beliau, yang bisa tahu apa yang diinginkan nya. Kapan akan saya kabul kan permintaannya. Tuhan, saya hanya bisa berusaha, bahwa suatu saat akan saya kabulkan apa yang menjadi keinginan ibu.
Bila melihat kebelakang, sejak di lahirkan saya memang tak pernah tinggal dengan kedua orang tuaku, enam tahun mengenyam pendidikan Sekolah Dasar (SD) saya hanya tinggal dengan ibu tanpa seorang ayah, sebab ayah telah berpisah dengan ibu sebelum saya mengenal membaca dan menulis. Itulah mungkin sosok ayah bagi saya sangat tabu dan bertanya-tanya tetang sosok ayah pada diri saya. Tamat Sekolah Dasar (SD) saya diperintahkan oleh ibu dan nenek saya ke NTB ntuk melanjut kan Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan dari situlah saya berpisah dengan ibu. Entah alasan apa ibu dan nenek saya untuk melarang melanjutkan pendidikan di Labuan Bajo Flores NTT. Dengan semangat dan tekat yang kuat saya berusaha melebur dalam budaya daerah Bima tersebut. Menjadi orang Bima dan mencintai budayanya, tanpa ibu tanpa ayah. 5 tahun lamanya saya tak bersama ibu. Kelas dua SMA barulah ibu ke Bima dan menetap di sana sebab nenek di panggil yang Maha Kuasa.
Tak sepenuhnya disayang kedua orang tua tak membuat saya termarjinalkan dilingkungan bermainku, Tak membuat semangat saya terhenti apalagi merasa canggung. Hanya saja rasa beda dan cerita tentang kedua orang tua biasanya membuat saya risih. Ibu memang tak pernah menampakkan sedikit kesedihannya ketika saya bertanya tentang perpisahan ibu dan ayah. Ibu sepertinya adalah sosok yang kuat sebab dia masih tetap tersenyum walau ayah di ambil oleh sahabatnya sendiri. Mungkin dari situ saya belum sepenuhnya mengerti apa yang ibu inginkan.
Detik-detik kepulangan ibu makin cepat, sebab ibu sibuk mempersiapkan apa-apa yang akan di bawah, ketika saya tawari tissue kepada ibu agar di masuk kan ke tasnya, ibu berujar “mama tadi malam mimpi, nenekmu datang dan bertanya pada mama, kenapa tidak membawa mu pulang, mama lalu menjawab ijazanya belum keluar”. Entah lah mama sepertinya ingin sekali pulang bersama anaknya. Saya hanya terdiam, diam tanpa kata, hanya senyum yang bisa diperlihatkan pada ibu, tetapi sebenarnya air mata ingin sekali keluar tapi berusaha ditahan.Saya sangat ingin tak ada kesedihan ketika ibu akan kembali ke Bima NTB. Saya ingin sekali berkata pada ibu “aku ingin pulang”. Pikiranku kala ini (sebab kutulis tulisan ini saat ibu hendak bersiap-siap) tak menentu, terbesik dalam pikiran saya akan saya ikut pulang, tapi bisahkah pulang ketika beberapa pekerjaan belum tuntas saya kerja? .bisahkah saya pulang dengan perasaan tak menentu. Ibu hanya bisa menawarkan senyum termanisnya ketika saya dilahirkan, Ketika kesedihan menimpaku, Ketika nada perkataan meninggi, ibu pasrah untuk tidak pulang bersama saya sebab ibu tahu apa yang di rasakan anaknya.
Ditulis menjelang ibu berangkat
Makassar, 12 Oktober 2011
Komentar