LOMBA DI TENGAH PERLOMBAAN

Komodo Dalam Bayangan


Kata lomba dan perlombaan sudah tentu menjadi sebuah kata yang mengaung dimasyarakat ketika ada event yang mengadakan sebuan kegiatan dengan titik puncak kemenagan. Kompetisi yang terjadi tak terelakkan dalam sebuah perlombaan. Kadang kompetisi itu masih berada dijalur kewajaran, kadang pula telah keluar dari koridor yang ada dengan tujuan merebut sebuah kemenangan atau menjadi The Winner sejati.
Maka tak heran jika dalam sebuah perlombaan masih ada yang berusaha menang dengan jalan yang tak sewajarnya, berusaha berkompetisi dengan melakukan upaya yang tak sepantasnya. Sehingga yang di anggap layak akan tersingkir dari sebuah kemenagan karena kecurangan dalam perlombaan.
Penulis tidak akan berbicara tentang sebuah kecurangan namun menyampaikan sebuah gejolak bahwa penulis masih ada untuk memperjuangkan sebuah hak sebangai Putra Asli Manggarai Barat. Bukan hak penulis pula namun hak-hak seseorang yang terpinggirkan karena sebuah perlombaan.
Kabupaten Manggarai Barat pekan terakhir ini, dibeberapa kecamatan mengadakan MTQ  (      Musyabaqah  Tilawatil Qur’an) untuk menyaring beberapa putra-putri untuk kembali berkompetisi di rana Kabupaten dan setelah itu akan berkompetisi di wilayah Profinsi. Namun bagaimana jika yang mewakili kecamatan, kabaupaten atau provinsi bukanlah putra atau putri daerah?, bagaimankah pandangan para pembaca?, adakah kebanggan secara emosional jika yang mewakili bukan putra daerah?. Penulis akan mengutarakan sebuah kegundahan tentang sebuah pemberontakan jiwa.
Terasing Di Kampung Sendiri
Suatu ketika penulis di SMS oleh kawan lama untuk menyaksikan MTQ tingkat Kecamatan di halaman kantor Kecamatan Komodo. Dan dengan kebanggan tersendiri kami menyaksikan dan mendengarkan lantunan ayat kitab suci tersebut berbunyi, peserta demi peserta. Betapa merdunya dan indahnya suara perserta lomba tersebut.
Bukan hanya kami yang memadati kantor kecamatan tersebut namun banyak masyarakat yang memadatinya dari berbagai desa sekacamatan komodo. Seketika penulis bertanya pada kawan penulis “kamu ikut juga dengan perlombaan ini, di kecamatanmu?”. Serentak dia menjawab “kasih kesempatan yang lain”. Kemudian terjadi dialog panjang dengan kawan lama tersebut itu yang pernah penulis kenal 11 tahun yang lalu. Dan pernah mewakili daerah ini untuk tingkat kabupaten, kala itu Kabupaten Manggarai Barat belum terbentuk masih kabupaten manggarai. Dan dia terbilang pembaca kitab suci yang sangat fasih dan mematuhi aturan-aturan kitab suci tersebut. Penulis makin tak sabar kala itu pun dengan nada yang penasaran penulis bertanya siapakah orang yang kau beri kesempatan untuk menggantikan posisimu?. Betapa kagetnya dan terkejut ketika orang yang di maksud adalah putra dari salah satu daerah di luar pulau flores.
Pun saat itu penulis tak bisa berkomentar panjang. Hanya mengajukan sebuah pertanyaan terakhir “mengapa harus mereka, kenapa bukan kamu?, dan dengan nada lebut kawan penulis pun menjawab “mungkin mereka dapat memenangkan perlombaan MTQ itu”. Dari nada bicacara dan tatapan matanya terlihat jelas bahwa dia masih ingin mengikuti event tersebut namun bukan keputusanhnyalah yang membuat dia tak berperan serta.
Mana mungkin putra daerah tersingkir oleh pendatang atau pendatang itu memang sengaja di datangkan untuk sebuah perlombaan MTQ dan untuk sebuah kemenangan yang harus mengorbankan sebuah hak. Penulis sangat tak meragukan skill yang di miliki kawan lama tersebut namun seoalah-olah apa yang dimilkinya akan terkubur dengan sebuah persaingan yang mengutamakan kemenangan di atas segaala-segalanya tanpa melihat bagaiaman proses menuju kesebuah kemenangan tersebut.
Kawan ku yang malang, hanya mampu menonton, hanya mampu mengagumi peserta yang menggantikannya padahal dia memang layak untuk berada di panggung tersebut. Bukan orang lain bukan orang yang didatangkan dari jauh, hanya untuk mengahrumkan nama desa, kecamatan atau kabupaten.
Potensi anak lokal (Manggarai Barat) sepertinya akan tersisihkan, tak akan di pakai. Jika dilihat secara gamblang banyak potensi yang perlu diasah oleh anak-anak Manggarai Barat hanya perlu di asah dan dibina. Maka tak heran jika anak lokal manggarai barat hanya menjadi pelengkap dalam sebuah event. Hanya jadi pegawai tokoh dalam sebuah pertokoan, hanya jadi guru bantu dengan waktu mengajar yang sedikit dalam dunia pendidikan. Tata kelolah pariwisata pun bukan anak lokal yang kuasai, dunia guaide masih kurang dari putra lokal manggaria barat.
Haruskah penulis dan pembaca hanya terdiam dan tetap membiarkan anak asli manggarai barat merasa terasing di kampungnya sendiri?. Seperti kawan  lama penulis yang harus tersinggkirkan dari perlombaan karena panitia pemilihan setempat yang hanya mengutamakan mengharumkan nama desa tersebut sehingga harus mendatangkan orang dari luar.
Datangkan Guru dari Luar bukan Peserta.
Masih banyak langkah strategis yang bisa dilakukan tanpa harus mendatangkan peserta dari daerah lain utnuk memenangkan sebuahu kompetisi. MTQ adalah sebuah event kegiatan yang diadakan sekali dalam dua tahun dan tentunya banyak waktu yang bisa di gunakan untuk proses pembelajaran yang baik.
Membudayakan anak lokal adalah yang utama dan kebanggaan tersendiri buat kita semua, kembanggan yang berharga jika yang memenangkan kompetisi adalah anak asli putra daerah, bukan berusaha menyingkirkan putra daerah lain atau tak memberikan kesempatan kepada putra daerah lain untuk ikut berperan namun masih banyak anak lokal yang masih bisa dan mampu hanya perlu di asah dan dilatih secara profesional.
Bina, latih, dan ajarkan secara berkesinambungan para putra daerah  dan dapat digunakan nanti jika kegiatan MTQ atau semacamnya diadakan lagi tak perlu lagi mengunakan jasa orang lain sebab kita masih punya stoc anak lokal yang berkualitas. Jika tak ada yang mampu mengajarkaknya kita bisa mengundang guru dari luar dan biarkan dia mengajar anak lokal kita.
Penilus menggambil contoh semasa kuliah, dosen dari luar negeri didatangkan untuk mengajarkan mata kuliah di Universitas penulis kala itu, dan setelah itu dosen tersebut dikirim kembali ke negaranya. Artinya bahwa jika di daerah ini gurunya tak ada yang mampu mengajarkannya (benar-benar habis) tak mampu mengajar maka lakukan langkah efisien membayar guru dari luar. Ketimbang kita harus mendatangkan orang mengantikan posisi putra daerah.
Mungkin jika kita melakukan langkah tersebut, teman lama penulis tak akan berkecil hati lagi, tak akan merasa terasing dikampung sendiri namun menjadi raja di Kampung sendiri.

Manggarai Barat, 22 April 2012 pukul 10.28.

Komentar

Postingan Populer